1.35 AM
JAKARTA 21 OKTOBER 2016
Sudah subuh menjelang pagi ternyata.
Aku di sini, di kamar hangatku. Duduk, berdiri, berpindah ke
tempat tidur, sesekali meneguk kopi susuku yang mulai dingin. Aku gelisah. Pernyataan
yang kau kirim melalui pesan singkat masih terngiang – ngiang di pikiranku. Aku
tak habis pikir, setelah hari – hari dan percakapan panjang yang merenggut
emosi itu kita lalui, masih kah kau meragukanku?
Ini bukan hanya tentang masa
depan. Hey! Sebelum masa depan itu datang, kita akan melalui masa- masa ini
bukan? Sejujurnya aku kecewa. Ya kecewa karena diragukan. Tak bisakah kau diam
dan berpura – pura semua ini baik – baik saja? Kita sama – sama mencinta,
bukan?
Bukan.
Bukan, bukan, bukan. Memang jawabannya
bukan. Bukan aku yang menjadi nomor satu di kepalamu. Bukan aku yang menjadi
nomor satu di hatimu. Bukan aku juga yang menjadi prioritasmu. Jangan salahkan
aku ketika sabarku habis. Ini bukan hanya tentang aku atau kamu. Ini tentang
kita. Ini tentang relasi kita.
Lalu aku harus apa?
Harus diam. Harus membiarkannya
saja. Harus menerima dengan senyum palsu sambil mengatakan “ hey sweetheart,
all is well”. Atau aku harus menyerah. Harus berhenti, kemudian pergi. Tapi
asaku tidak segentar itu. Kembali kuingat kisah kita. Kembali kunikmati cinta
kita. Kembali kurasakan syukurku. Syukur memilikimu. Syukur bersamamu. Jangan cepat
menyerah akan kita, kasih. Karena aku begitu mengasihimu.